Pranata Mangsa: Sistem Kalender Petani Jawa yang Terancam Hilang VOA —
Triyanto, petani di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, puluhan tahun berpijak pada kalender pertanian, yang disebut sebagai pranata mangsa. Ini adalah sistem pencatatan iklim layaknya kalender, yang digunakan sebagai pedoman kapan menanam padi, dan kapan menanam jenis tanaman lain.
Triyanto, petani di kabupaten Sleman, Yogyakarta (dok pribadi).
Menurut pranata mangsa, akhir Oktober ini seharusnya hujan telah tiba. Tetapi perubahan iklim pelan-pelan menjadikan pedoman itu meleset. Kondisinya diperparah dengan el nino yang melanda Indonesia, yang membuat hujan secara umum belum datang, setidaknya sampai pekan ini.
Dalam pranata mangsa, akhir Oktober ini masuk dalam mangsa kalima atau musim kelima.
“Biasanya, mangsa kelimo akhir itu sudah pada tebar benih untuk rencana padi. Karena belum ada turun hujan, ya kita belum berani tebar benih. Sehingga nanti musim tanamnya itu biasanya di mangsa kanem atau di bulan November, ini kelihatannya musim tanam padinya mundur,” kata Triyanto kepada VOA.
Dalam pranata mangsa, mangsa kalima atau manggakala berlangsung 14 Oktober hingga 9 November. Pedomannya adalah pancuran mas sumawur ing jagad atau pancuran emas menyirami dunia. Ditandai dengan mulai ada hujan besar, pohon Asam Jawa mulai menumbuhkan daun muda, ulat mulai bermunculan, laron keluar dari liang, lempuyang dan temu kunci mulai bertunas. Petani seharusnya memperbaiki selokan, membuat tempat air mengalir di pinggir sawah, dan mulai menyebar padi gogo.
Triyanto yakin, pranata mangsa masih bisa dijadikan pedoman, hanya petani harus melakukan penyesuaian. Apa yang tertulis di dalamnya, dicocokkan dengan informasi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Seperti saat ini, mangsa kelima atau musim kelima seharusnya sudah ada banyak air dari hujan, nyatanya sawah masih kering kerontang.
“Kalau waktu saya kecil dulu, pranata mangsa tepat. Misalnya mangsa kanem (musim keenam) sudah banyak air, sehingga tanam padinya (dilakukan) di mangsa kanem,” tambah Triyanto.
Seorang petani menanam benih padi di sawah di Demak. (Foto dok: Antara/Aji Styawan via REUTERS)
Herni Saraswati, petani di Kulonprogo, DI Yogyakarta yang belum lama memanen kedelai dan kacang hijau, juga mengakui hal ini.
“Rata rata petani tetap menggunakan pranata mangsa untuk acuan, untuk keberhasilan panen,” kata Herni.
Herni bercerita, pengetahuan tentang pranata mangsa diajarkan turun-temurun. Ayahnya, yang juga seorang petani, sangat mematuhi apa yang ada di dalamnya, bahkan sampai ke pemilihan hari untuk menanam tanaman. Sedangkan Herni yang kini berumur 62 tahun, mulai fleksibel mempraktikannya.
Situasi kurang lebih sama dipraktikkan Rusdiyanto, sekretaris kelompok tani Seneng Makmur, Gunungkidul, DI Yogyakarta.
“Pranata mangsa itukan perkiraan orang Jawa, kalau sekarang perhitungannya disatukan dengan perkiraan dari pemerintah,” ujarnya.
Sejak era Orde Baru, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dari dinas pertanian berdiskusi dengan petani di sawah. Salah satu yang mereka sampaikan, adalah soal prakiraan cuaca dari lembaga pemerintah. Rusdiyanto mengaku, tahun-tahun belakangan ini informasi cuaca dari petugas pemerintah tidak selaras lagi dengan apa yang tertulis di pranata mangsa. Karena itulah, dia menggabungkan dua informasi itu, apalagi karena menurut dia, cuaca kini semakin sulit diprediksi.
Sistem kalender pertanian tidak hanya ada di Jawa. Petani Batak memiliki apa yang disebut dengan Parhalaan, sementara di Dayak petani menggunakan Papan Katika, dan di Bali ada sistem Wariga.
Apa itu Pranata Mangsa?
Dr. Purwadi, pakar kebudayaan Jawa UNY (VOA/Nurhadi).
“Pranata mangsa mengacu pada kehidupan masyarakat agraris. Tentunya ini berlaku sebelum suasana industrial berkembang pesat seperti sekarang. Dulu petani berpegang teguh pada pedoman alam, mangsa ketiga, mangsa labuh, mangsa rendeng, dan mangsa mareng, empat itu,” papar pakar kebudayaan Jawa, Dr Purwadi.
Purwadi adalah pengajar kebudayaan Jawa di Universitas Negeri Yogyakarta. Dia mengampu sejumlah mata kuliah seperti filsafat Jawa, kajian sastra Jawa, sejarah kebudayaan Jawa hingga folklor Jawa.
Pranata mangsa adalah gabungan dua kata, pranata yang bermakna aturan dan mangsa yang bisa diartikan sebagai waktu, musim, atau periodisasi iklim, yang mendasarkan perhitungan pada peredaran matahari. Pranata mangsa menghubungkan masyarakat Jawa, khususnya petani dengan lingkungannya sekaligus bentuk kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam.
Sebagai pengetahuan sains kultural, pranata mangsa membagi periodisasi satu tahun ke dalam dua belas mangsa, dengan dasar letak matahari, arah angin, cuaca, dan perilaku hewan serta tumbuhan. Kalender ini telah berusia ribuan tahun, namun secara resmi diakui sebagai sistem kerajaan oleh raja Paku Buwono VII di Surakarta, pada 1830-1858
Paku Buwono memandang penting pranata mangsa, sehingga mengadopsinya sebagai kebijakan kerajaan, karena posisi Kraton Solo ketika itu sebagai produsen pangan. Purwadi menyebut, ketika itu area sawah terluas yang memungkinkan tanaman padi tumbuh subur di Jawa, hanya ada di wilayah milik Paku Buwono.
Dalam kalender petani ini, mangsa ketigo (kemarau) jatuh pada Juni-September, mangsa labuh (pancaroba) September-Desember, rendeng (penghujan) pada Desember-Maret, dan mareng (pancaroba) mulai Maret sampai Juni.
“Keempat mangsa itu diperhatikan betul dalam siklus pertanian. Siklus itu membuat tanah terjaga kesuburannya. Juga untuk memutus siklus hama,” kata Purwadi.
Empat mangsa besar itu, dibagi lagi dalam dua belas periode lebih pendek. Setiap periode memuat paparan lebih rinci terkait situasi yang berhubungan dengan pertanian.
Pranata mangsa dimulai dengan mangsa kasa atau musim pertama, 22 Juni sampai 1 Agustus. Disebutkan di dalamnya, angin bertiup dari timur laut ke barat daya, udara panas di siang hari, dan dingin kala malam. Periode ini masuk dalam musim kemarau, dengan penanda daun-daun gugur atau meranggas, pohon kering dan belalang bertelur. Panen padi sudah selesai, petani membakar jerami dan mulai menanam palawija, seperti kacang dan jagung.
Dilanjut mangsa karo atau musim kedua, 2 Agustus hingga 24 Agustus, yang disebut juga masa paceklik karena datangnya kemarau. Musim ini digambarkan cadangan pangan menipis, tanah di sawah retak, kering, panas berdebu, pohon mangga dan randu mulai berbunga dan bersemi. Petani sebaiknya menanam palawija atau padi gaga yang tidak butuh banyak air.
Seorang petani membawa sekantong pupuk saat Gunung Agung mengeluarkan asap dari Desa Sidemen, Karangasem, Bali. (Foto: Antara/Nyoman Budhiana via REUTERS)
Dilanjut dengan mangsa katelu atau musim ketiga, dari 25 Agustus hingga 17 September, yang digambarkan dengan pohon bambu mulai bertunas, tanaman gadung tumbuh tapi sumur-sumur kering. Petani harus menanam palawija, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Sedangkan mangsa kapat atau musim keempat, dimulai 18 dan berakhir 12 Oktober, yang dianggap telah masuk musim hujan meski air belum banyak. Pohon kapuk mulai berbuah, burung pipit yang biasa memakan padi membangun sarang. Petani diharapkan mulai mengecek saluran irigasi di sawahnya.
Demikian seterusnya.
Keraton Solo melahirkan pranata mangsa karena tradisi literasi yang kuat sejak. Sejak abad 17, kerajaan ini bahkan secara resmi mendokumentasikan karya-karya terkait pertanian, pengairan, perkebunan, persawahan, dan masyarakat tradisional. Kekayaan agraris ini juga membuat khasanah kuliner mereka sangat kaya.
“Misalnya jenis-kenis makanan itu di Serat Centhini ada 365 makanan. Itu ditulis rinci. Karena bagaimapaun, iklim dan tanaman pertanian itu juga berkaitan dengan produknya,” tambah Purwadi.
Pranata Mangsa Sebagai Sains
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Juni 2023 menerbitkan sebuah buku berjudul Pranata Mangsa dalam Tinjauan Sains. Penulisnya adalah tiga saintis dan akademisi yang mengajar Pendidikan Fisika di perguruan tinggi, yaitu Rif’ati Dina Handayani dari Universitas Jember, serta Zuhdan Kun Prasetyo dan Insih Wilujeng dari Universitas Negeri Yogyakarta.
Buku ini menyebut, pranata mangsa tidak hanya pengetahuan konsep mitologi di masyarakat Jawa, tetapi juga sains yang dapat diajarkan dalam pembelajaran. Secara sains, sistem kalender ini memiliki sejumlah kelebihan. Pertama, pranata mangsa bersifat sains ilmiah karena di dalamnya terdapat materi mengenai perubahan iklim, musim, jenis tanaman/tumbuhan dan hewan asli Indonesia, ekosistem, adaptasi mahluk hidup, dan sistem perkalenderan yang didasarkan pada siklus edar matahari. Kedua, pranata mangsa mengajarkan masyarakat berperilaku ilmiah membaca tanda dari alam, yang di Jawa dikenal sebagai ilmu titen. Ilmu ini mendidik masyarakat Jawa menjadi ilmuwan dengan mengamati, merekam, menganalisis, dan menguji hipotesis berdasarkan pengetahuan mereka. Ketiga, mempelajari pranata mangsa berarti mempelajari budaya dan peduli terhadap global sustainability (keberlanjutan global) dan cultural sustainability (keberlanjutan budaya).
Pranata mangsa, hakikatnya adalah akar budaya dimana manusia Jawa mencari jawaban persoalan yang mereka hadapi, karena sistem ini memiliki kearifan lokal yang menjadi landasan sikap dan perilaku. Pranata mangsa adalah pengetahuan sains kultural dan pedoman bagi masyarakat Jawa, untuk arif membaca tanda-tanda alam.
Namun, para penulis buku juga mengakui, bahwa pedoman pertanian ini mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai perubahan zaman.
Tetap Menjadi Panduan
Pranata mangsa nampaknya memang bertabrakan dengan perubahan iklim. Namun, menurut pakar pertanian dari Universitas Gadjah Mada, Prof Dwidjono Hadi Darwanto, sistem kalender ini sebaiknya tidak ditinggalkan oleh petani.
Prof. Dwidjono Hadi Darwanto, Guru Besar Pertanian UGM (courtesy: UGM).
“Kalau dilepas sama sekali ya jangan, nanti bisa kehilangan panduan. Ketidaksesuaian itu karena apa yang sekarang lagi ramai, yaitu climate change, secara global. Pranata mangsa yang lama masih bisa dipakai, hanya agak mundur,” kata Dwidjono.
Dwidjono memberi contoh perubahan mendasar yang terjadi di sektor pertanian terkait perubahan iklim. Dalam perhitungan datangnya musim kemarau ekstrim, atau el nino misalnya, siklus lima tahunan ini mengalami pergeseran cukup signifikan. Periode dimana musim kering seharusnya telah datang, saat ini kadang masih disertai hujan yang sesekali turun. Sebaliknya, musim hujan mengalami pemunduran, sehingga mau tidak mau petani harus menyesuaikan musim tanam padinya.
“Jadi pergeseran itu sudah lama. Yang tadinya musim hujan itu mulai dari akhir Desember, lalu Januari, Februari, Maret, sekarang agak bergeser. Mulainya musim hujan itu lebih ke Januari,” tambahnya.
Beberapa dekade lalu, bulan September biasanya hujan intensitas ringan sudah datang, lalu berlanjut hingga November dan Desember itu. Dengan begitu, petani akan melakukan panen raya pada Februari atau paling lambar awal Maret. Saat ini, rata-rata panen raya di Jawa dilakukan pada April.
Karena itulah, menurut Dwidjono, pranata mangsa masih bisa dijadikan panduan musim tanam. Hanya saja, agar lebih tepat waktu tanam diundur dan petani harus lebih rajin mencari informasi cuaca. Salah satu pihak yang berperan dalam upaya ini adalah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Dwidjono menyebut, PPL berperan penting menyampaikan informasi cuaca dan iklim, termasuk perubahan iklim yang sedang terjadi, langsung kepada petani. PPL disebut Dwidjono menjadi semacam jembatan pengetahuan, antara pedoman pranata mangsa dengan perubahan iklim yang dijabarkan lembaga pemerintah.
Dwidjono juga mengatakan, “Saya tidak menyalahkan petani. Tetapi petani kita tidak cukup memiliki pengertian terhadap climate change. Seharusnya, ada yang menjembatani untuk memberi pengertian terkait climate change kepada petani. Bahwa perubahan iklim itu dampaknya seperti ini.”
Apa yang terjadi saat ini di sektor pertanian, adalah dampak dari perubahan iklim. Sebagai akademisi, Dwidjojo yakin pranata mangsa tetap memiliki relevansi, meski fenomena iklim global itu mungkin akan membuat petani tidak sepenuhnya bisa menempatkan kalender berusia ribuan tahun ini, sebagai pedoman utama. [ns]